Kamis, 08 Maret 2012
Senin, 30 Januari 2012
Upacara tiwah
A.Upacara tiwah
Debu
putih pekat menutupi sepanjang jalan yang bergelombang, pasir putih bak bibir
pantai terhampar dikanan-kiri jalan. Bahkan bukit-bukit pasir membingkai jalan
terjal yang harus kami tempuh selama kurang lebih tiga jam siang ini.
Perjalanan menuju daerah Pangi, Kabupaten Pulang Pisau, di propinsi Kalimantan
Tengah merupakan perjalanan yang lumayan sulit ditempuh, terkadang rombongan
mobilyang saya tumpangi harus menyingkir ke kubangan air ketika berpapasan
dengan pengendara mobil lain, atau meliuk ke kanan dan kiri untuk menghindari
lubang yang mengangga.
Tempat penyelenggaraan Upacara
Tiwah, tak jauh dari jalan raya desa, sejak masuk perkampungan Pangi, terlihat
tenda-tenda berjajar disepanjang jalan. Rupanya Upacara Tiwah ini juga
dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Mulai dari makanan, kerajinan,
pakaian, hingga tempat karaoke menyemarakkan lingkungan tempat upacara. Menurut
Bapak Prada, dalam upacara ini seluruh kerabat berkumpul baik dari dalam desa
ataupun dari luar desa. Sehingga kemeriahan suasana menjadi salah satu daya
tarik dan hiburan untuk masyarakat. Saya menyaksikan tiap rumah dipenuhi oleh
anggota keluarga yang datang untuk mengikuti rangkaian upacara Tiwah.
Kedatangan saya bersama
beberapa penganut Hindu Kaharingan kali ini untuk melihat langsung serta
mendokementasikan penyelenggaraan upacara Tiwah. Menurut kepercayaan masyarakat
Hindu Kaharingan, Tiwah merupakan rukun kematian yang tertinggi. Upacara Tiwah
dilaksanakan akibat adanya kematian yang menimbulkan sial atau pali (pantangan)
sehingga tiap keluarga yang memiliki anggota keluarga yang meninggal diwajibkan
untuk melaksanakan upacara Tiwah. Jumlah arwah yang ditiwahkan adalah terdiri
14 orang dewasa dan 3 orang anak-anak.
B. Pengertian Upacara
Tiwah
Upacara Tiwah merupakan salah satu upacara ritual keagamaan yang
menjadi kekayaan budaya masyarakat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah. Bagi masyarakat
Dayak Ngaju, penganut Hindu Kaharingan upacara kematian merupakan upacara yang
sudah menjadi tradisi sehingga menjadi kebiasaan yang membudaya dan melekat
sehingga wajib untuk dilaksanakan.
Ajaran Ranying Hattala Langit (Tuhan) menjadi dasar pelaksanaan
upacara ini. Menurut kepercayaan mereka, jalan untuk mencapai Lewi Tata atau
Rumpang Tulang Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat (sorga).
Waktu
pelaksanaan upacara Tiwah berlangsung selama sebulan sejak akhir Juni hingga
tanggal 11 Juli 2010, memerlukan persiapan matang serta biaya yang cukup
besar. Beberapa persiapan dalam upacara Tiwah adalah; persiapan awal, persiapan
upacara Tiwah, Pelaksanaan upacara tiwah, akhir upacara Tiwah, akhir upacara
Tiwah dan Balian Baluku Untung.
Upacara
Tiwah dapat dilaksanakan secara bersama-sama secara gotong royong dan
melibatkan banyak orang tanpa membedakan status sosial. Dalam hal ini semakin
banyak keluarga yang melaksanakan tiwah maka akan meringankan biaya yang harus
ditanggung.
Dalam upacara Tiwah, pemimpin rohani yang disebut Basir dan
Duhung Handepang Telun. Sesajian atau sarana yang dibutuhkan dalam upacara
Tiwah banyak menggunakan simbol-simbol serta tarian sakral yang disebut manganjan.
Persembahan suci khas masyarakat dayak, diikat pada sebuah patung (sapundu)
yang nantinya akan ditombak oleh ahli waris pihak kelurga yang melaksanakan
Tiwah.
Ritual upacara tiwah diyakini sebagai pemujaan terhadap Tuhan,
dengan kayanya ymbol-simbol sarana upacara, ymbol rasa bhakti untuk memuja
Tuhan. Upacara tiwah diyakini sebagai sarana untuk berhubungan dengan kekuatan
dan kekuasaan Tuhan melalui ymbol sarana upacara seperti Balai Nyahu,
sangkairaya, Tihang Bendera, Sahur, Tihang bendera liau, Manganjan, Malahap,
Balian, Hanteran, Balai anju-anjung, ymbo kanihi, sapundu, palangka, ymbol dan
lain-lain.
C. Fungsi Upacara Tiwah
Upacara
tiwah ini berfungsi menghantarkan Telu Liau (tri liau) Kelewu Tatau sesuai
dengan pesan suci Tuhan kepada utus (keturunan) Maha Raja Bunu dan berfungsi
sebagai pensucian bagi mereka yang ditinggalkan (tarantang nule) dalam
menghantarkan Lewu kelewu tatau dengan ymbol upacara Hanteran Basir Munduk dan
Ngarahang Tulang. Hantaran dilaksanakan oleh Duhung Handepang Telun manamunan
(mencontoh) Raja Pampulau hawun melaksanakan Tiwah Suntu di Lewu bukit Nandan
Tarang. Tugas Handepang Telun adalah menghantarkan Liau Haring Kaharinangan
yang berasal dari Tuhan saat tabuh pertama mariaran Lanting Sambeng Nampalang
Penyang.
Dalam upacara tiwah ini, anggota keluarga diajak untuk
mewujudkan bakti kepada keluarga, leluhur dan badan kita yang telah memabntu
kita selama hidup. Sebagai anggota keluarga dalam tiwah ini diharapkan keluarga
menghormati, menghargai, mencintai dan memuja sejak masih hidup hingga mati dan
menyucikan atma dan badannya. termasuk kegiatan mengangkat, menyucikan tulang-tulang
dari kuburan dan diangkat ke dalam Sandung.
Pada
pelaksaan Tiwah terdapat pali atau pantangan yang harus diikuti oleh peserta
tiwah dan pengunjung. Pali atau pantang tersebut merupakan wujud kesadaran akan
kesemimbangan hidup didunia dan akhirat. Dalam pali atau pantang inilah yang
melahirkan kesadaran untuk memenuhi kewajiban yang menjadi tanggung jawab moral
kepada leluhur, keluarga, dan orang tua yang ditiwahkan. Pali atau
pantangan tersebut ditempel di Balai Nyahu, sehingga siapapun yang datang dapat
membacanya.
Sejak
malam Balai Nyahu telah ramai dikunjungi oleh anggota keluarga yang akan
melaksanakan Tiwah, Balian yang berjumlah tujuh orang telah bersiap untuk
melakukan pekerjaan Shang Hiang yang diturunkan memindahkan arwah yang sudah
meninggal kembali ke alam rahim ibu.
Pada
malam hari acara puncak dalam upacara Basir/ulama telah bersiap duduk berjajar
disebuah tempat yang telah disiapkan. Sebelum upacara dimulai Basir di beri
ikatan tangan sebagai ketahanan tangan agar mereka memiliki kekuatan meskipun
dirasuki Sang Hiang Langit dan diletakkan gong di alas kakinya. Hal ini
bermakna untuk menghormati Sang Hiang yang agung, mereka melaksanakan upacara
hingga pagi hari dengan menggunakan bahasa Sang Hiang.
D.Peran Basir
Peran Basir Munduk (balian) tugasnya menghantarkan Liau Balwang
Panjang, yang berasal dari zat bapak pada saat tabuh kedua, dengan Marian
Banama Nyahu, dan Liau Karahang Tulang dari zat ibu menghantarkan pada saat
Balian Ngarahang Tulang tabuh ketiga menggunakan Talawang Teras jambu
Bahandang, dengan proses menuju Lewu Tatau harus nyambung dengan Lamban Bulau
Naliung Liu, Makang Garing tukang Tuyung (tali pusat) sesuai dalam kitab suci Panaturan
manyarurui jalan ewan tesek dumah bara AKU (membawa mereka melalui jalannya
untuk ating padaku).
Tiwah
disebut Tabuh, sejak pagi masyarakat sudah berkumpul. Tarnatang nule sudah
mempersiapkan sarana prasarana yang dibutuhkan untuk beberapa kegiatan,
termasuk petugas yang menombak korban. Pada upacara ini dimulai dengan rangkain
manganjan dan mempatei metu (hewan korban) yang diikat pada sapundu. Hal ini
terus dilakukan hingga tabuh ketiga. Jumlah hewan korban sebaiknya makin banyak
untuk meningkatkan kesejahteraan. Makna penombakan hewan tersebut yang
dilakukan oleh keluarga, maka keluarga mentas yang disaksikan oleh semua
keluarga. Sebagai contoh ketika pasangan kita meninggal dan belum melaksanakan
upacara tiwah maka tidak diijinkan untuk menikah. Tiwah disaksikan oleh
seluruh ahli waris berfungsi sebagai penyaksian bahwa kita telah melakukan
upacara tiwah.
Panas makin menyengat tepat pukul 14.00, Duhung Handepang Telun
sudah bersiap dengan pakaian khusus untuk memimpin upacara yang disebut
Hantaran. Tugasnya menghantarkan jalan kuasa Tuhan kepada yang kuasa. Sementara
Basir Mundu berjalan mengelilingi hewan yang akan dikorbankan, tugas mereka
adalah meluruskan roh tulang dan roh daging kepada Tuhan.
Umat Hindu Kaharingan percaya
bahwa ajaran agama akan memberikan jalan untuk keselamatan manusia karena cinta
kasih Ranying Hattala Langit (Tuhan) kepada umatnya. Ranying Hattala Langit
(Tuhan) disebut Maha bijaksana, Maha pengasih, Maha Segalanya, karena Tuhanlah
yang memberi nafas kehidupan kepada kita dan karena cinta kasihNya kita kembali
padaNya, melalui upacara Tiwah.
Bertemu
dengan masyarakat Hindu Kahariang dan berbincang tentang harapan mereka
terhadap pelaksanaan uapacara Tiwah, makin membangkitkan sebuah harapan bahwa
Kaharingan adalah agama yang berasal dari kehidupan dan selalu memberikan
kehidupan. Karena ia tinggal dan ada disekitar kita, ia bersatu dengan alam
dengan kehidupan ini. Seiring dengan perkembangan agama-agama lain, upacara
Tiwah dapat menerima perbedaan yang ada. Hal ini tergambar dari proses
pemotongan hewan yang di tombak dalam upacara Tiwah.
Untuk
menghormati keluarga Muslim, hewan yang di korbankan disembelih atau dipotong
oleh perwakilan dari muslim. Selanjutnya dalam penyajiannya mereka juga selalu
mengatakan bahwa ini daging sapi atau babi kepada siapa saja yang menyantap
hidangan yang disajikan. Hal ini sebagai bukti bahwa masyarakat Hindu
Kaharingan sangat menghargai perbedaan kepercayaan diantara mereka.
Masyarakat,saat
upacara mamunu metu/hewan selesai
Satu hal yang unik di Dayak Ngaju, Tiwah dapat dilaksanakan oleh
umat dari agama apapun tetapi dengan tata cara asli masyarakat Hindu
Kaharingan. Menurut Bapak Prada, keluarga muslim atau Kristen dapat ikut
melakukan Tiwah atau meniwahkan keluarganya yang lain yang pemeluk agama
Kaharingan. Bahkan ada juga beberapa penganut selain Hindu Kaharingan yang ikut
melaksanakan Tiwah.
Bercengkerama
dengan keberagaman memang selalu memberikan ruang sejuk bagi kehidupan beragama
di Indonesia. Masyarakat Hindu Kaharingan memberikan bukti, bahwa perbedaan itu
dapat disatukan dengan budaya saling menghormati, menghargai leluhur dan
meninggikan penghargaan terhadap orang tua, tetua dan keluarga. Kaharingan
adalah kehidupan, kehidupan itu berada dekat dengan tiap individu. Dalam
upacara tiwah ini tiap manusia memiliki kewajiban untuk melakukan bhakti kepada
Tuhan dan keluarga, dengan
menciptakan
keselarasan, keseimbangan antara manusia dengan Tuhan antara manusia dengan
manusia dan manusia dengan alam lingkungannya.
Senja
mulai merah ketika saya bersama rombongan meninggalkan Pangi, Pulang Pisau.
Perjalanan pulang menuju Palangkaraya segera dimulai. Debu masih terus
menutupi sepanjang perjalanan pulang, pasir putih meremang di sepanjang sisi
jalan sementara aroma kehidupan tetap singgah dihati untuk makin menghargainya
sebagai anugerah yang mestinya disyukuri. Masih terngiang ditelinga satu
harapan yang tetap terbawa “Kaharingan ingin tetap diakui sebagai agama asli
masyarakat Dayak Ngaju.
Langganan:
Postingan (Atom)